annyeong, wahyu imnida

semoga informasi yang saya berikan bermanfaat,, but jangan lupa komentarnya.

gamsahamnida

Minggu, 07 April 2013

contoh teks drama monolog


DEPRESI
Dunia adalah sebuah lembaran penuh makna, ada garis hitam yang selalu di coretkan dalam sebuah kertas, dan adapula putih yang di kaitkan dalam menemani sang hitam. Terlalu banyak keluh kesah yang harus di lewati. Marah, sedih, kecewa, tertawa bahkan cinta. Entah apa daya, saat seorang perempuan yang baru menginjak jenjang remajanya harus menjalani masa-masa terindah dalam hidupnya (red: masa putih abu-abu) dengan penuh tekanan.
Masuk ke dalam kamar dan membanting buku paket.Menatap tajam pada
para penonton sambil menaikkan sebelas alis.
lalu tertawa masam tak berarti dan mulai bersenandung na na na
sambil mengitari para penonton dengan wajah layu.
Tiba-tiba merengkuh tersender pada dinding kamar.
Tuhan, di manakah Engkau? Di mana, Tuhan?
Terus bertanya dengan keberadaan Tuhan dengan suara parau.
Hati mulai bergejolak dan mata semakin sayu.
Sura pun naik turun.
Tuhan, tolong jawab! Di manakah Engkau sekarang?
Tetap merengkuh, tersungkur di atas lantai.
Namun, mulai memeluk ke dua kakinya dengan erat dan
semakin berlarut dalam kesedihan. 
Di mana Tuhan? Di mana? Di mana?
Suara mulai meninggi.
Tuhan, tolong jangan tinggalkan aku. Jangan biarkan aku sendiri. Jangan biarkan aku terjatuh, terjatuh dalam jurang yang penuh keabadian. Aku tahu, jurang itu cukup tangguh untuk menyeretku masuk ke dalamnya. Aku takut, sangat takut Tuhan. Tolong jangan lepaskan tanganku, Tuhan. Aku hanya membutuhkanmu. Bisakah Engkau berlama berada di dekatku? Sebentar saja, menuntunku untuk keluar dari tempat busuk ini.  
Bangkit berdiri lalu menunjuk setiap penonton yang berada di depannya.
Wajah mulai menampakkan aksi geram, maka kesedihan mulai menciut, dan terganti dengan wajah penuh amarah.
Mengapa? Mengapa dunia terasa tak adil bagiku. Semuanya tak pernah memedulikanku. Aku hanya sendiri dalam kegelapan. Aku terkurung, aku di cekam, dan aku di kekang. Aku takut
sebias cahaya menyinariku. Bermain-main di atas kepala dan memaksaku untuk masuk ke dalam dunia entah berantah itu.
Hei, mengapa kalian menatapku dengan topeng busuk itu? Topeng yang telah lam membatasi wajah asli kalian. Dan bisakah kalian berhenti memasang senyum di depanku? Tolong jangan munafik di depanku. Aku tahu kalian yang sebenarnya. Para peneror yang tak pernah menghargai orang lain. Menyiksa dan melihat orang lain dengan sebelah mata? Hei, siapa yang pencundang sobat? Aku atau kalian yang penuh kebusukkan?
Senyum sinis mulai merekah dan tertawa kecut pun mulai terpancar dari wajahnya.

Lalu sambil mengacak-ngacak rambutnya dan meremas kepalanya, ia pun berkata…
Jujur, aku capai (red: capek), aku capai Tuhan. Mengapa mama papa tak pernah melihatku? Dan tak pernah berpaling dari anak-anak kesayangannya?
Memperagakan seorang ibu yang sedang sibuk berbelanja.
Mama hanya pergi berbelanja, berbelanja, menggais uang dari kantong papa.
Memperagakan pula seorang ayah yang sedang duduk membaca atau menulis sesuatu.
Sedangkan papa hanya bekerja, bekerja, dan bekerja demi mencari uang yang banyak.
Melangkah dengan sangat pelan, suara masih labil, kadang tinggi, kadang pelan seperti membisiki sesuatu.
Kini, aku telah memasuki dunia baru, dunia para remaja, dan aku bingung, apakah jiwaku harus terus melayang di tengah kelamnya dunia? Aku masih labil. Aku butuh sentuhan hangat dari kalian, aku hanya butuh kasih sayang dari mama dan papa, cuma itu.
Memegang uang dan mengibas-ngibaskannya di depan penonton.
Bukan uang, pa? Bukan uang, ma? Apalah arti uang apabila aku terus dalam kesendirian serta mereka yang selalu menghiraukan keberadaanku. Membuang uang sehingga uang-uang tersebut berserakan di depan panggung.
Menunjuk sekali lagi pada para penonton. Lalu, menghela napas.
Yah…
Terus berdiri. Melanjutkan omongan sambil memegang dada yang serasa sesak.
Hidup memang selalu merisaukan hatiku. Aku di biarkan, aku di tinggalkan, aku di manfaatkan, aku terpojok, dan selalu aku sendiri. Seperti anak hilang di antara kerumunan orang. Aku hanya ingin mengungkapkan bahwa aku ingin mengucapkan terima kasih karena kalian (menunjuk para penonton), mama papa, adik-adik telah menjadi bagian dari warna sari kehidupanku. Terlebih Tuhan yang tak pernah meninggalkanku di saat ku semakin terpuruk dan setidak adilnya Tuhan buktinya hingga saat ini aku masih bisa bernapas. (Menghela napas sekali dengan tajam dan membuangnya dengan kasar). Namun, hidup memang pilihan.
Mengambil sebuah pil yang telah berada di dekatnya sadari tadi.
Menelannya tanpa setetes air.
Maka pilihan inilah yang telah ku ambil dan aku harus menanggung segala sesuatu yang telah ku perbuat.
Dada semakin sesak, pikiran terasa jauh di angan-angan, badan semakin terhuyung-huyung tak pasti arahnya, mata semakin sayu, tangan dan kaki yang begitu lemas. Bersenandung na na na semakin lama semakin pelan suaranya. Lalu, berteriak histeris, melolong-lolong, menggerogoti tenggorokan para penonton.
Terima kasih, Tuhan.
Tubuhnya tersungkur di atas tanah dan tergeletak tak bernyawa di atas lantai kamarnya.
Semilir angin berembus di sekeliling, udara malam memang sungguh mencekam, tak pernah peduli hati yang sedang tertekan. Maka, begitulah sepenggal kisah gadis remaja yang sedang mencari jati diri sebenarnya yang sangat membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya. Segala sesuatu terasa sulit, namun saat kita merasa hidup kita sangatlah berharga, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan bernapas yang telah di berikan, tapi tetaplah berusaha tersenyum menghadapi tantangan di depan walau hati terasa perih kesakitan.

Tidak ada komentar: